Saat kita mengklasifikasikan tingkat kesejahteraan masyarakat dari berbagai profesi di negeri ini maka nelayanlah yang hidupnya sangat memprihatinkan, Kondisi ini memang terasa aneh dan kontradiktif, betapa tidak, mereka miskin ditengah kondisi laut Indonesia yang konon potensinya sangat melimpah. Bagaikan ayam mati di lumbung padi, begitu kata peribahasa. Coba kita simak, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.500 pulau. Garis pantainya membentang sepanjang 81.000 kilometer. Indonesia juga memiliki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 5,8 juta km2 – tiga kali lebih luas dari daratannya. Indonesia juga dikenal sebagai negara terkaya di dunia dengan keragaman hayati-nya, wow bukan main..
Kayanya laut Indonesia bahkan sempat diabadikan oleh grup musik legendaris Koes Plus dengan dendang lagunya “… bukan lautan hanya kolam susu, kain dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udangpun menghampiri dirimu…”
Untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemerintah sejak lama telah menggulirkan berbagai
program, mulai dari pendidikan dan pelatihan, bantuan kapal dan alat tangkap, sampai dengan peningkatan, dukungan pasca produksi.. Pendek kata cukup banyak yang telah dilakukan. Tetapi tetap saja hidup nelayan tidak meningkat berarti. Kehidupan mereka tetap sulit beranjak. Anak-anak nelayan yang tidak bersekolah tetap masih banyak, dan lingkungan hidupnyapun masih tetap kumuh. Mengapa demikian ?. cukup panjang jika di kaji lebih dalam, tetapi secara singkat
ada beberapa kebijakan pemerintah yang kurang tepat di terapkan kepada nelayan. Terkadang pemerintah lupa bahwa di dalam sosial budaya nelayan ada faktor yang kerap jadi masalah di kubu nelayan itu sendiri, ketergantungan nelayan dengan Majikan atau bos yang memegang pasar mereka.
Pemerintah sering kali memberi kebijajkan menurunkan harga BBM khusus nelayan yang sangat murah, tetapi apa yang terjadi? program tersebut tidak berjalan dan tidak bisa merubah kondisi nelayan. Mereka lebih memilih beli BBM di tempat majikan yang harganya jauh lebih mahal, karena bisa di bayar setelah mendapatkan hasil.
Ada beberapa kelemahan pemerintah yang cukup krusial adalah tidak adanya pendampingan yang kontinyu, sampai tataran ketekhnis, saat ini hanya di lakukan pendampingan secara temporal saja, selain itu pemerintah tidak berusaha membaca sosiokultur masyarakat nelayan secara menyeluruh, baik nelayan itu sendiri dan orang-orang yang terkat di dalamnya.
Untuk menyelesaikan persoalan mereka sebenarnya ada faktor utama (akar masalah) yang menjadikan nelayan tidak berdaya, di antaranya adalah Akses Permodalan, Manajemen Usaha, Dukungan Pemasaran, Kesinambungan pembinaan dan Pendampingan
Akses Permodalan adalah persoalan yang paling pertama dan utama bagi nelayan. Secara umum selama ini mereka menjalankan usahanya dengan berbekal “hutangan” dari majikan untuk membeli bahan bakar dan perbekalan selama melaut. Hutang ini kemudian akan dibayar dengan hasil tangkapan yang dijual kepada majikan. Tentu saja harga jualnya ditentukan sendiri oleh sang majikan, dan bisa diduga harga beli tersebut lebih rendah dari harga pasar wajar. Sebagai pihak yang posisinya inferior, nelayan tidak punya pilihan lain kecuali menerima berapapun harga beli sang majikan tersebut
Bila beruntung mendapatkan cukup banyak ikan, maka setelah dipotong semua biaya, nelayan akan mendapatkan sisa yang akan dibagi secara proporsional diantara para awak kapal. Bila kurang beruntung karena hasil tangkapan ikan sedikit, maka nelayan terpaksa mencatatnya sebagai hutang kepada majikan.
Bila selama beberapa waktu nelayan tidak juga mendapatkan ikan, maka selama itu pula nelayan akan terus mencatatkan seluruh biaya melaut, baik solar maupun perbekalan, sebagai hutang kepada majikan. Bahkan ketika musim paceklik tiba dimana nelayan tidak mungkin melaut karena ombak besar dan badai, maka sang majikan tetap akan membantu nelayan mendapatkan biaya hidup. Begitu dan seterusnya siklus hidup nelayan, sehingga dapat dipahami mengapa akhirnya nelayan tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap majikannya.
Untuk membebaskan nelayan dari belenggu tersebut, nelayan perlu mendapat bantuan permodalan. Tetapi bagaimana fomat bantuan modal tersebut agar efektif, aman, dan tepat sasaran?
Persoalan inilah kemudian yang melatarbelakangi lahirnya gagasan pembentukan Korporation nelayan. Sesuai namanya, maka corporation nelayan ini sahamnya dimiliki oleh nelayan. Artinya semua keuntungan Badan Usaha ini akan kembali kepada nelayan sebagai pemegang saham. Artinya pula bahwa nelayan tidak lagi termarjinalkan karena dia akan menikmati hasil kerjanya secara maksimal, tanpa harus dipusingkan dengan pikiran untuk mengembalikan hutang. Lantas siapkah yang menjalankan?
Pelaku Corporation tersebut adalah para profesional yang tetap mempunya idealsme membantu nelayan dengan kontinyu, yang bukan bagian dari nelayan itu sendiri biar para nelayan tetap terfokus pada pekerjaanya, pelaku Corporation akan bekerja secara profesional dan tetap mendapatkan gajih yang layak dari presentasi pendapatan badan usaha tersebut, sehingga akan tetap bertahan.
Dari badan usaha tersebut nelayan tidak lagi di pusingkan masalah keuangan, dan pemasaran, karena di dalam corporation tersebut ada beberapa bagian yang menangani pelayanan simpan pinjam (Menangani permodalan), pasar , profesionalisme nelayan termasuk standarisasi alat tangkap, penanganan SIUP serta kreatifitas istri nelayan bahkan manajeman keuangan rumah tangga juga akan tertangani. Cara penangananya secara tekhnis akan dibentuk divisi-divisi tertentu biar lebih terfokus kerjanya.
Tidak menutup kemungkinan dari keuntungan Corporation tersebut para nelayan dapat membali kapal yang mempunyai teknologi berkelas. Sehinga pendapatan mereka akan terus meningkat dan kesejahteraan merekapun bisa terjamin.
0 comments:
Posting Komentar