Pada saat itu saya sedang mencari mustahik(dhuafa) untuk pengembangan program ekonomi productive. Akhirnya saya bertemu salah satu mustahik yang ada di pasar madani kota baru, ia mempunyai anak berjumlah 5 orang. Di antaranya 3 orang masih sekolah di SD (geratis) dan yang lain sudah putus sekolah (setara SMP dan SMA). Pada saat saya tanya alasan kepadanya.. “Mengapa dua anak bapak putus sekolah?. Tanyaku dengan penasaran.
“Nggak ada uang, kalo ada bantuan saya akan sekolahkan pak” ujarnya dengan sangat berharap.
Kemudian aku bertanya ke anakknya langsung. Adik mengapa nggak sekolah lagi?. ”nggak ah” dengan entengnya ia menjawab.
Awalnya bingung juga liat permasalahnya apakah benar mutlak keuangan penyebabnya. Sehingga anaknya yang seharusnya duduk di bangku SMP dan SMA pada berhenti sekolah. Akhirnya aku berinisiative hitung-hitungan pemasukan dan pengeluaran mereka . ”oke bu sekarang kita belajar berhitung dulu” ungkapku dengan berharap dapat mengetahui jalur keuangan mereka.
Setelah menghitung dari semua pemasukan keuangan, baik suami istri, kemudian saya menghitung juga seluruh pengeluaran dari sumber keuangan tersebut, apakah pengeluaranya tepat sasaran atau tidak.
Setelah ditanya untuk konsumsi sehari-hari dan kebutuhan lain, pengeluaranya biasa saja. Sampailah pertanyaan lanjutan”Apakah bapak merokok ?” tanyaku. Ia menjawab. ”Iya.”. Kemudian saya lanjutkan pertanyaanya. ”Berapa bungkus rokok yang bapak hisap perharinya?”. ia langsung menyampaikan ”Dalam sehari aku habis 2 bungkus rokok”.
Pada saat di hitung satu bungkus seharga Rp.5000. di kali 2 bungkus di kalikan lagi tigapuluh hari. Berarti ia telah membakar uang sia-sia sebesar Rp. 300,000,- perbulan. Sedangkan saat dihitung-hitung pengeluaran kedua anaknya jika sekolah, di bangku SMP dan SMA, hitunglah dalam sebulan uang SPP SMP Rp.40,000,- dan yang SMA Rp.60,000,-. Berarti dalam satu bulan 100,000,- untuk biaya SPP sudah lepas (Catatan:bukan sekolah faforit). Masih sisa 200,000,- . anggaplah uang jajan Per anak Rp.2000,- berarti dalam perbulan pengeluaran jajan kedua anak tersebut Rp.120,000. di tambah lagi uang lain-lain, untuk bayar praktek sekolah SMP perbulan Rp. 30,000,- dan SMA Rp. 50,000. dari uang Rp.300,000 yang di keluarkan untuk.rokok ternyata sudah bisa membebaskan anaknya dari putus sekolah.
Di akhir hitung-hitungan sama mustahik tersebut saya sampaikan ”ternyata kita sering sekali tidak mau berkorban untuk anak, tapi lebih mementingkan pribadi. Biarlah kita miskin pak, tapi jangan sampai anak kita sama dengan kita, biarlah kita tidak sekolah, tapi jangan sampai anak kita tidak sekolah". Alhamdulillah pada saat anaknya yang putus sekolah mendengarkan yang sebelumnya sudah tidak mau sekolah, dengan kehadiran kami ia ingin kembali lanjutkan sekolah, walaupun inginya ikut program paket B. Kemudian keluarga tersebut saya masukkan Program Kelompok Usaha Sejahtera (KUS) program ekonomi produktive.
Menurut data dari berbagai sumber 3/4 dari perokok adalah rakyat miskin, dimana mereka bahkan sudah menganggap bahwa merokok adalah kebutuhan pokok dibawah beras, ditambah dengan kurangnya pendidikan sehingga mereka tidak memperhatikan kesehatan. Merokok menggerus belanja mereka, menggerus biaya kesehatan dan biaya pendidikan anak-anak mereka. Belanja rokok mengurangi investasi usaha mereka yang kecil, belanja rokok menurunkankan produktifitas kerja mereka karena keadaan serba kekurangan yang ditimbulkannya.
Ternyata perokok sebagian besar berada di negara-negara berkembang dan miskin sebesar 84 persen dibandingkan dengan di negara-negara kaya dan maju dari total keseluruhan 1,1 miliar orang perokok pada 2003.
Di Indonesia sendiri, perokok terbanyak adalah berasal dari masyarakat ekonomi lemah atau miskin dibandingkan perokok yang berasal dari penduduk kelas menengah dan kelas atas, dan perokok dari penduduk pedesaan dibandingkan perokok dari penduduk perkotaan (BPS,2001). Pada 2002, perokok aktif di Indonesia mencapai 141 juta orang dimana sebagian besar berkategori miskin. Prevalensi merokok ditemukan paling tinggi di antara penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 31,5 persen (BPS, 2003).
Besarnya biaya konsumsi rokok dibandingkan untuk membeli daging, susu, telur, dan buah mengakibatkan dua sampai lebih dari empat pada 10 anak balita menderita kekurangan gizi di 72 persen kabupaten Indonesia (Bappenas,2003). Kondisi ini mengakibatkan Indonesia tercatat di posisi rendah di bidang kualitas kesehatan anak di tingkat ASEAN., akhir-akhir ini diberitakan konsumsi susu bayi-bayi di Indonesia di peringkat paling bawah se Asia Tenggara.
Melihat data ini, rasanya terlalu jauh, untuk berharap adanya kesadaran mengalokasikan sebagian anggaran untuk peningkatan kualitas pendidikan anak-anaknya. Menurut Susenas tahun 2003, besarnya biaya konsumsi rokok 2,5 kali biaya untuk pendidikan. Tanpa sadar mental perokok memperngaruhi kehidupannya, dari sample-sampel yang saya temukan sangat mempengaruhi kondisi perekonomian mereka, saat ini tidak sedikit masyarakat kita yang mempunyai mental perokok.
Pontianak, 19 Aguatus 2009
0 comments:
Posting Komentar